TRANSLATE

Translate this page from Indonesian to the following language! English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified Widget edited by Agustiyawan

BLOG FAVORITE

Minggu, 23 Januari 2011

PANORAMA DAN EKSOTISME KOTA BALIKPAPAN


::: Agustiyawan :::

Kapal berseliweran di laut biru. Tak begitu lama kemudian, terlihat bukit dan lembah hijau terbelah sungai-sungai besar. Panorama eksotis itu terlihat beberapa saat sebelum pesawat yang saya tumpangi terbang di atas Kota Internasional Balikpapan. Tapi alam Kalimantan itu memang penuh pesona.
Balikpapan sekarang tentu berbeda dari tahun 1980-an, kali terakhir saya ke sana. Bandara Internasional Sepinggan yang besar, megah, dan bernuansa budaya lokal itu dulunya kawasan dekat pantai. Desain bandaranya yang mengadopsi bangunan Joglo Dayak dengan segala ornamennya sunguh memesona.

Kalau dicermati, sebenarnya kondisi geografis Balikpapan tak jauh berbeda dengan Kota Semarang: kota pantai berbukit-bukit. Perbedaannya mungkin pada beberapa rumah penduduk di pinggiran kota atau daerah permukiman. Di situ, masih banyak orang yang menggunakan kayu ulin untuk membuat rumah-rumah panggung.

 
Hari-hari pertama di Balikpapan, tentu saya berbahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan orang-orang. Bahasa Jawa hanya saya gunakan di rumah tante saya. Namun begitu menyusuri sudut-sudut kota, saya menjumpai orang-orang yang berkomunikasi dengan bahasa Jawa. Mereka adalah para pedagang, penjaga toko, sopir angkuta, dan banyak orang lainnya. Walhasil, saya jadi lebih sering menggunakan bahasa tersebut.

Benarlah, sebagian besar penduduk Balikpapan adalah kaum boro. Mereka adalah orang luar yang datang untuk bekerja dan akhirnya menetap di sana. Sebagian besar datang dari Jawa. Setelah berpuluh-puluh tahun berinteraksi terjadilah akulturasi budaya. Masing-masing penduduk tidak merupakan akar asal. Inilah yang membuat warga Balikpapan unik. Sebab mereka jadi menguasai berbagai bahasa. Paling tidak tiga bahasa utama, yakni Indonesia, Banjar, dan Jawa.

Daya pikat Balikpapan memang begitu besar, terutama bagi para pencari kerja. Peluang kerja masih besar dan begitu pula pendapatan rata-rata penduduknya. Soal biaya hidup, tak jauh berbeda dari Semarang

Yang tak kalah menarik dan membuat nyaman adalah penataan kawasan pantai di kota tersebut. Kota Semarang mungkin harus meniru model penataannya. Sebab, kawasan pantai di Balikpapan merupakan tempat yang nyaman untuk dikunjungi. Saat saya mengunjungi Klandasan (pasar baru), terlihat kawasan pantai yang tertata apik dan antirob. Tidak kita jumpai genangan ketika dan setelah hujan turun.

Di sepanjang jalan itu, berderet pertokoan dan pusat perbelanjaan. Beberapa puluh meter di belakang toko, terlihat pantai nan indah. Kawasan itu dilengkapi dermaga-dermaga sandar kapal kecil yang memanjang. Di sana, orang-orang bisa menikmati keindahan pantai. Hak publik atas kawasan pantai pun tidak terampas. Kawasan itu juga dilengkapi dengan berbagai tempat bernaung, rumah makan yang menyajikan seafood, pusat penjualan ikan hias, dan suvenir khas pesisir.

Ya, itulah sisi lain wajah kota yang membuat kaum boro merasakannya sebagai surga dan akhirnya enggan meninggalkan Balikpapan. Inilah mungkin yang tidak dimiliki dan harus ditiru Semarang yang bercita-cita menjadi kota jasa dan kota kunjungan wisata.

Ada anggapan bahwa kita belum ke Kalimantan kalau tidak merasakan kelezatan penganan unik khas setempat. Salah satu penganan unik yang dapat kita nikmati adalah sanggar.

Sebenarnya, penganan itu biasa kita jumpai di Jawa. Kita biasa menyebutnya gorengan. Tentu saja ada pisang goreng, bakwan, atau mendoan. Namun ada perbedaan jelas dalam cara menikmatinya. Warga Balikpapan, sebagaimana penduduk kota-kota lain di Kalimantan, selalu menikmati gorengan itu dengan sambal. Sambalnya bermacam-macam. Ada sambal kacang yang mirip bumbu pecel. Ada juga sambal cair yang mirip sambal rujak.

 Saat belum mencoba, tentu kita akan merasa aneh jika harus menikmati hidangan pisang goreng dengan sambal rujak. Setelah mencoba, yakinlah, lidah kita pasti enggan untuk berhenti bergoyang. Perpaduan rasa yang semula agak aneh bagi saya, lama-lama terasa nikmat.

Pagi itu pun perut sudah terisi penuh dengan sanggar, yang cukup memberikan energi bagi saya untuk ”menyusuri” Balikpapan. Satu lagi yang tak bakal bisa kita lupakan di Kalimantan tak lain adalah durian. Ya, pulau itu memang memiliki berbagai varietas durian. Durian lay, salah satunya.

Saya pergi ke Bukit Soeharto di jalur menuju Samarinda. Jaraknya cukup jauh sekitar 40 kilometer dari pusat Kota Balikpapan. Dengan menumpang angkutan kota bertarif Rp 10 ribu, saya pun berangkat menyusuri jalan panjang di tengah hutan tersebut.

Di sepanjang jalan ke tempat tujuan berderet kios penjual buah yang menawarkan durian lay dan salak pondoh. Salak pondoh? Tentu saja ada di sana. Pasalnya, di sepanjang jalur tersebut penduduk setempat membuka hutan dan mengembangkan menjadi beberapa jenis perkebunan. Tentu saja, kelapa sawit, pisang, dan tak ketinggalan salak pondoh.

Saya turun dan menyambangi kios-kios tersebut. Namun kali ini saya agak kurang beruntung. Sebab, saat itu sudah memasuki akhir musim durian. Walhasil, saya hanya bisa beroleh durian lay yang harganya telah menjadi dua kali lipat dari harga semula. Jika sedang musim, sebuah hanya Rp 5.000. Meski begitu, ketika sudah mulai menyantap daging buahnya, harga yang mahal mesti dilupakan. Durian itu beraroma kuat dan berdaging buah warna kuning pekat. Sangat merangsang selera. Dan ketika di lidah, rasanya manis, gurih, dan legit.

Ah sayang sekali, mengapa buah itu tak sampai ke Jawa? Mengapa kita harus mengimpor si montong dari Thailand? Padahal, durian Kalimantan tidak kalah kualitas dari produksi Negeri Gajah Putih.

Buaya-buaya Borneo Life

Pengembangan Kota Balikpapan bagaimanapun mesti diimbangi pemerintah setempat dengan penjagaan keseimbangan alam. Alih fungsi lahan hutan dan rawa yang terjadi begitu cepat, tentu juga akan menggusur khazanah flora dan fauna yang menjadi kekayaan asli Balikpapan (selain minyak dan batubara tentu saja).

Hilangnya rawa-rawa dan berbagai pohon besar sudah mulai tampak di sana. Dulu, tahun1980-an, masih mudah kita jumpai pohon-pohon besar dengan garis tengah 4-5 meter yang lurus menjulang tinggi. Namun kini, aneka pohon raksasa itu sudah hilang dan sulit kita dapati lagi. Begitu pula dengan rawa-rawa yang dihuni buaya.

Inilah yang rupanya mendorong pemerintah kota berupaya menyelamatkan dan mengembangkan kembali kawasan-kawasan hijau dan pusat-pusat penyelamatan satwa.

Jika kita menyusuri Balikpapan ke arah Kota Samarinda melalui Jl Soekarno-Hatta, bakal kita jumpai taman nasinal baru atau tempat-tempat yang menjadi sabuk hijau. Sebut saja pusat pendidikan lingkungan Balikpapan di Jalan Soekarno-Hatta Km 22, pusat penyelamatan orang utan di Km 35, dan Pusat Penelitian Benih Samboja (dikelola Dephut) di Km 38 yang memiliki luas 3.000 hektare.

Salah satu pusat penyelamatan satwa yang menarik tentu Borneo Life. Pusat penangkaran buaya itu memiliki ratusan buaya, mulai dari telur, anak buaya, buaya, remaja, hingga buaya dewasa yang memiliki panjang 3-4 meter.

Buaya-buaya itu merupakan hasil tangkapan dari alam dan hasil pengembangbiakan indukan di tempat tersebut. Biasanya, buaya-buaya itu akan bertelur di darat. Telur-telur itulah yang kemudian ditetaskan. Anak-anak buaya itu pun dipisahkan dari indukan dan dibesarkan di tempat tersendiri. Inilah yang membuat populasi buaya di Borneo Life bertambah dengan cepat. Sebab, peluang hidup buaya menjadi semakin besar dibandingkan kalau hidup di alam bebas.

Terdapat dua jenis buaya di tempat tersebut, yakni buaya supit (buaya muara) yang kita kenal dengan sebutan aligator serta buaya air tawar yang dikenal dengan sebutan crocodile. Perbedaan keduanya mudah dikenali dari moncong dan ukuran tubuhnya. Moncong buaya supit lebih kecil dan memanjang. Tubuh buaya itu pun relatif kecil. Sementara buaya air tawar memiliki mulut segitiga yang lebih lebar. Ukuran tubuhnya pun sangat besar. Buaya-buaya itu ditempatkan di kolam yang berbeda-beda, sesuai dengan jenis, dan usianya.

Selain berupaya menyelamatkan, Borneo Life juga mengomersialisasikan buaya-buaya itu. Mereka mendapat dana untuk penangkaran dari tiket masuk pengunjung Rp 10 ribu per orang dan hasil dari penjualan buaya itu sendiri. Memang buaya yang dianggap sudah siap dan besar, mereka potong untuk diambil kulit, tulang, dan dagingnya.

Karena itu, di tempat yang selalu ramai dikunjungi warga setempat atau pun pelancong dari kota lain itu, kita bisa membeli berbagai suvenir seperti kulit buaya. Kita juga bisa mendapatkan tangkur binatang melata yang konon dapat meningkatkan vitalitas kaum lelaki. Ingin lebih ekstrem lagi? Coba saja sate daging buaya yang ditawarkan pengelola kepada para pengunjung.

Memang memanfaatkan potensi dengan cara menciptakan keseimbangan inilah yang akan membuat kita tetap memiliki kekayaan flora-fauna hingga akhir masa. Kita pun tak akan dituntut oleh anak cucu karena menghabiskan kekayaan alam yang sebenarnya titipan dan hak mereka.

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...